Saturday, September 24, 2016

PENGAMEN TUA

Entah lagu apa yg dia mainkan, aku juga tak tahu alat musik apa yang dia gunakan, yang pasti itu bukan ukulele. Kupikir itu semacam banjo, bentuknya seperti gitar tapi berbentuk bulat dengan 4 senar yang di petik. Lagu yang dia mainkan terasa sangat asing di telingaku, namun aku selalu tersenyum saat berlalu di hadapan dia. Bukan karena aku menyukai lagu yang dia mainkan, atau mengidolakan pengamen itu. Sama sekali bukan itu alasan kenapa aku selalu tersenyum.

Kukira dia lelaki tua berkebangsaan Amerika atau Scotlandia, usianya sekitar 70-75 tahun, suaranya parau saat mencoba menyanyikan lagu. Orang-orang di depan restotan cepat saji banyak yang acuh saja dan berlalu tanpa melirik apalagi menoleh. Banyak sekali di antara mereka yang menganggap lelaki itu buang-buang waktu saja.

Tepat dibawah lampu merah, dia selalu disana setiap akhir pekan, dengan ransel yang terlihat penuh di belakangnya, dan tas banjo yang berisi beberapa uang Hong Kong dolar, dia memperhatikan orag berlalu-lalang di depannya. Bila dia melihat raut wajah sedih atau marah, dia akan berkata lantang, "Hei kamu, Tersenyumlah..." dan karena itu tak pernah kubiarkan raut wajah sedihku terlihat oleh orang lain, apalagi pengamen ini. Karena suara paraunya sungguh mengagetkanku, dan bisa membuatku jatuh terjungkal di trotoar..

selalulah tersenyum, kalau bukan untuk orang lain, untuk dirimu sendiri saja dulu.

24 sept 2016
King's Road, North Point
Hong Kong

Thursday, March 24, 2016

Diam

Suatu ketika saya pernah berseteru dengan seorang sahabat, mungkin baginya perhatian yang saya berikan terlalu berlebihan menurutnya. Ketika itu aku melihat gelagat kesedihan pada raut wajahnya, sebisaku aku mencoba bertanya apakah aku bisa membantumu? Apakah aku bisa menghiburmu? Melepaskan sedikit sedihmu. Ceritakan masalahmu, sampaikan sedihmu. Tapi dia tetap diam, sampai berkata, aku pengen sendirian dulu, beri aku ketenangan.
Jlebh, seperti ada palu godam besar yg menghantamku, aku menangis sejadi-jadi-nya. Tanpa kusadari niat baikku malah menjadi suatu kejahatan, membuat sahabat ku sendiri merasa tak nyaman.lalu pantaskah aku menyebut diriku sebagai sahabat bila tak memberikan rasa nyaman pada sahabat ku sendiri.

Ketika Ada

"Rindu,,, kamu liat Galih nggak?" Tanya Mahardika begitu aku masuk kelas.
"Bukankah kalian satu kost? Kok nanya ke aku sih?" Jawabku keheranan.
"Kan kalian deket, siapa tau aja kamu tau dia kemana," Mahardika melengos kesel.
"Udah tanya si Gama? Kan dia ceweknya, Kali aja dia tau soal Galih," usulku demi melihat wajah ganteng didepanku ini cemberut.
"Ish, Gama malah curhat pas kutanyain soal Galih, pake nangis pula, HP juga gak aktif, pusing deh kalo gini," Mahardika terlihat makin cemberut.
"Ya udah santai aja, ntar aku kabarin kalo ketemu dia, palingan juga lagi naik gunung tuh anak, kayak gak tau kebiasaan si Galih aja kamu." Jawabku mencoba menenangkan. Mahardika berusaha tersenyum dan mengucap terima kasih kemudian berlalu keluar kelas.
Ah sudahlah, aku lebih memilih fokus pada masalahku sendiri daripada memikirkan Galih yang tak pernah jelas. Biarkan saja dia asik bersama komunitasnya, aku harus mencari kerja paruh waktu untuk membiayai hidupku di kota besar ini. Kepalang malu aku meminta bantuan Ayahku, istrinya terlalu nyinyir padaku. Andai saja Bunda masih ada, semoga Bunda damai disana. Aamiin.

Sabtu sore ketika aku sibuk update website online shop yang kukelola, tiba-tiba saja Galih menelfon, katanya ingin bertemu di taman dekat kost-ku. Ada rasa enggan ketika aku beranjak dari meja belajar Dan melangkah keluar. Tapi kupaksakan juga, semoga saja emosiku bisa kutahan saat bertemu dengannya.

Kami masih saling diam, tak saling pandang seperti biasanya, bahkan aku lebih memilih bermain game di ponsel, tanpa melirik sedikit pun ke arah Galih,hanya kutajamkan telingaku bersiap mendengar apa yg akan dia katakan.
"Rin, tolong aku, setelah di pecat bulan lalu, pemasukanku NOL. Bantu aku Rin, buat bayar kost aja, aku mau cuti kuliah, fokus cari kerja dulu, kamu tau kan bagaimana keadaanku?" Ucapnya lirih sambil menunduk.
Kuhentikan permainanku, kumasukkan ponsel ke saku celana, kutatapi rautnya yg menunduk dalam.
"Lihat aku Galih, kamu tau kan aku selalu bersedia menolongmu, selalu ada untuk kamu, saat kamu dalam masalah,aku pasti ada. Sekarang aku tanya, kamu dimana saat aku kemarin minta tolong menemaniku untuk hunting produk, kamu dimana saat aku berduka karena kepergian Bundaku, kamu dimana saat aku 3 hari terbaring sakit di kost tanpa bisa ke dokter, apakah saat itu aku menghubungimu? Iya kan, aku mencarimu, tapi kamu kemana?" Airmataku hampir tumpah, Galih makin menunduk.
"Coba kamu minta tolong sama teman komunitas mu itu yang selalu kau ajak tertawa, atau Gama yang selalu kau hibur saat dia sedih, atau Mahardika teman satu kost mu itu. Kamu, jangankan menghiburku saat sedih, saat aku kesakitan pun kamu pilih menjauh, alasanmu apa? Kamu gak tega liat aku kesakitan, gak kuat melihat aku menangis. Sekarang aku menangis, aku sedang kesakitan Gilang, pergilah menjauh dariku," ucapku sedikit parau. Kutinggalkan Gilang sendirian di taman, tanpa menoleh lagi, teriakan maafnya dikejauhan terdengar makin tajam menusuk ulu hati. Bagaimana mungkin kalimat maaf menjadi begitu menyakitkan.

Tadi sore sebelum pulang,aku mampir ke tempat kost Gilang, menemui Mahardika, padanya kutitipkan sejumlah uang untuk kost Gilang, mungkin aku bodoh, tapi aku tak sampai hati membiarkan dia dalam keadaan kacau di luar sana. Kusuruh Mahardika menemui Gilang segera dan aku pulang. Entah karena aku terlalu rindu Bundaku atau sibuk memikirkan soal mencari uang tambahan, sebuah motor ngebut menabrakku. Dan sekarang aku disini melihat jasadku ditangisi orang-orang di sebuah rumah sakit swasta. Gilang menangis paling histeris, sungguh menyayat hati, Mahardika disampingnya tampak berusaha menenangkan Gilang. Gama hanya terisak melihat kekasihnya menangis seperti itu, sambil sesekali melirik jasadku. Ayah terlihat lebih tenang, tapi aku hafal arti raut wajah itu, duka yg mendalam. Ibu tiriku terisak sambil memeluk si kecil Verno-Verni, si kembar yg selalu menyambutku dengan tawa saat aku berkunjung, mereka hanya memanggilku tanpa mengerti kenapa kakak nya di selimuti sampai menutupi wajahnya. Sekarang perjalanan ku di dunia selesai, tinggal me lanjutkan hidup di alam lain, mempertanggung jawabkan semua amalku semasa hidup. Kalian, hiduplah dengan baik, bisikku yang lebih mirip desau angin.

North Point
23 maret 2016
Ketika hujan bukan hanya diluar, tapi juga didalam hati.

Tuesday, March 15, 2016

Ketika saya mencoba bermain kata kata

Suatu hari seorang teman datang kepadaku dengan nada suara putus asa. Mungkin dia butuh seseorang yang bisa menenangkan gundah hatinya, dengan sederet doa salam hati, kucoba ulurkan tangan, kuberikan pendengaranku untuk mendengar keluhnya, kusodorkan bahuku untuk sekedar bersandar sejenak. Kemudian kuyakinkan dengan sederet kalimat, ada seulas senyum yang mungkin terlukis dari wajah sahdunya di seberang sana. Satu kata darinya, terima kasih. Dan aku mulai meraba hatiku, bisakah aku melakukan seperti yang kutuliskan ini?
Well apapun itu, kalimat ini, kutuliskan kembali, bukan untuk pamer dan sejenisnya, tapi untuk mengingatkanku, bahwa ikhlas itu wajib dilaksanakan, bila belum mampu, setidaknya jangan berhenti mencoba, akupun juga tak lelah mencoba setelah ribuan Kali gagal.

Thursday, December 17, 2015

Ketika Hati

Ketika hati mulai bercerita tentang dentingan rasa yang disebut Cinta
Saat itulah semestinya bibir diam sejenak menjadi pendengar
Dan biarkan telingamu yang meraba ke arah mana hatimu berbicara
Kata demi kata yang akan menjadi kalimat sudah bertautan,
Berebutan
Mencuat melalui celah jemarimu
Ada sedikit goresan pada permukaan rasa yang menyentuh sendi kehidupanmu
Itu bukan jelaga hitam yang harus dihapus
Bukan pula sayatan pisau yang menciptakan semburat darah
Itu hanya cinta yang menyapamu
Biarkan hatimu yang bercerita kawan
Cukup ikuti alurnya saja
Boleh kau bersenandung
Tak Salah juga bila kau sambil menari
Bahkan terkadang airmata yang menganak sungai itu bisa menjadi penenangmu ketika hati dan rasa mulai sontak beringas, menyeringaikan taringnya
Jangan berjalan mundur dan menjauh
Jangan pula berdiri diam terpaku
Tetapkan langkahmu kedepan
Boleh kau pelankan bila lelah
Namun jangan tergesa bila kau ingin cepat
Aturlah seindah mungkin
Cinta itu tidak pernah menyakiti
Cinta itu selalu melindungi
Bila kau terluka jangan salahkan cinta
Mungkin tanpa sengaja kau menginjak duri
Atau terantuk batu saat melangkah
Sejauh apapun jarak yang kau tempuh
Hati tak pernah punya batas pemisah pada cinta
Dan tetap biarkan hatimu yang berbicara
Ikuti saja alurnya
Jangan lelah
Cinta tak pernah ingkar pada bahagia
Cinta yang selalu menghalau nestapamu


Winter 16 desember 2016
North point ketika senja memeluk rinduku

Photo by Rheezald Taufik 

By Arie Andarie

Friday, October 9, 2015

HUJAN

Menghitung rinai yang menjuntai
Seperti tirai 
Indah
Kecipaknya adalah nyanyian sendu 
Rindu
Sedangkan aromamu adalah pesona

Pada kelabu yang menggantung
aku ceritakan tentang biru saat matahari
tentang awan putih yang berarak
dan panas yang membakar ubun ubun

Pada petir yang menggelagar
kusampaikan tentang indahnya nyanyian
burung dari ranting cemara
tentang embun yang perlahan menjadi uap

Ah hujan tahukah kamu
aku suka basahmu
aku suka gemuruhmu
aku suka bercerita pada guyuranmu

Ada lagi
aku ingin menari bersama rinaimu
dan menghitung kembali rintikmu
ini selaksa cerita lain tentang mu

Kamu yang selalu membasahiku
menelanjangi segala dukaku
sampai aku menggigil sendu 
memeluk dingin yang kian basah

Hujan
bilakah aku abadi dalam kisahmu
bilakah aku tetidur dalam pelukanmu
jemput aku bila rindumu sudah keterlaluan

Hujan
aku datang kepadamu saat kau memanggilku
saat kau ada
dan aku masih disana
ditempat yang sama
seperti kemarin
ketika kita bercinta

Hujan
hanyutkan senduku
aku rindu
ingin kau cumbu
sampai pada tahap yang tak terhitung




North Point, 09 oktober 2015
pada hujan yang masih lokal
aku rindu aroma mu

Wednesday, June 17, 2015

Welcome Again

Demi irama rindu yang menggedor dinding hati
Demi ingin seorang bocah di sana
Demi sebuah nama yang terlantun dalam doaku doamu
Inilah yang kau tunggu telah tiba
Menyapamu lagi
Mendatangimu lagi
Sudah pasti akan ada riuh yang terngiang di telinga
Akan ada aroma kolak pisang menjelang maghrib
Akan ada lantunan merdu ayat suci
Masih menjadi rindu yang sama
Menjadi rasa yang sama
Airmata ini masih bernama rindu
Rindu yang sama seperti tahun lalu
Selamat datang lagi rinduku
Akan kunikmati setiap hujan yang membasahi rasaku
Ramadhan dan Rindu
Aku padamu

Arie Andarie
North Point, 16 juni 2015