Thursday, March 24, 2016

Diam

Suatu ketika saya pernah berseteru dengan seorang sahabat, mungkin baginya perhatian yang saya berikan terlalu berlebihan menurutnya. Ketika itu aku melihat gelagat kesedihan pada raut wajahnya, sebisaku aku mencoba bertanya apakah aku bisa membantumu? Apakah aku bisa menghiburmu? Melepaskan sedikit sedihmu. Ceritakan masalahmu, sampaikan sedihmu. Tapi dia tetap diam, sampai berkata, aku pengen sendirian dulu, beri aku ketenangan.
Jlebh, seperti ada palu godam besar yg menghantamku, aku menangis sejadi-jadi-nya. Tanpa kusadari niat baikku malah menjadi suatu kejahatan, membuat sahabat ku sendiri merasa tak nyaman.lalu pantaskah aku menyebut diriku sebagai sahabat bila tak memberikan rasa nyaman pada sahabat ku sendiri.

Ketika Ada

"Rindu,,, kamu liat Galih nggak?" Tanya Mahardika begitu aku masuk kelas.
"Bukankah kalian satu kost? Kok nanya ke aku sih?" Jawabku keheranan.
"Kan kalian deket, siapa tau aja kamu tau dia kemana," Mahardika melengos kesel.
"Udah tanya si Gama? Kan dia ceweknya, Kali aja dia tau soal Galih," usulku demi melihat wajah ganteng didepanku ini cemberut.
"Ish, Gama malah curhat pas kutanyain soal Galih, pake nangis pula, HP juga gak aktif, pusing deh kalo gini," Mahardika terlihat makin cemberut.
"Ya udah santai aja, ntar aku kabarin kalo ketemu dia, palingan juga lagi naik gunung tuh anak, kayak gak tau kebiasaan si Galih aja kamu." Jawabku mencoba menenangkan. Mahardika berusaha tersenyum dan mengucap terima kasih kemudian berlalu keluar kelas.
Ah sudahlah, aku lebih memilih fokus pada masalahku sendiri daripada memikirkan Galih yang tak pernah jelas. Biarkan saja dia asik bersama komunitasnya, aku harus mencari kerja paruh waktu untuk membiayai hidupku di kota besar ini. Kepalang malu aku meminta bantuan Ayahku, istrinya terlalu nyinyir padaku. Andai saja Bunda masih ada, semoga Bunda damai disana. Aamiin.

Sabtu sore ketika aku sibuk update website online shop yang kukelola, tiba-tiba saja Galih menelfon, katanya ingin bertemu di taman dekat kost-ku. Ada rasa enggan ketika aku beranjak dari meja belajar Dan melangkah keluar. Tapi kupaksakan juga, semoga saja emosiku bisa kutahan saat bertemu dengannya.

Kami masih saling diam, tak saling pandang seperti biasanya, bahkan aku lebih memilih bermain game di ponsel, tanpa melirik sedikit pun ke arah Galih,hanya kutajamkan telingaku bersiap mendengar apa yg akan dia katakan.
"Rin, tolong aku, setelah di pecat bulan lalu, pemasukanku NOL. Bantu aku Rin, buat bayar kost aja, aku mau cuti kuliah, fokus cari kerja dulu, kamu tau kan bagaimana keadaanku?" Ucapnya lirih sambil menunduk.
Kuhentikan permainanku, kumasukkan ponsel ke saku celana, kutatapi rautnya yg menunduk dalam.
"Lihat aku Galih, kamu tau kan aku selalu bersedia menolongmu, selalu ada untuk kamu, saat kamu dalam masalah,aku pasti ada. Sekarang aku tanya, kamu dimana saat aku kemarin minta tolong menemaniku untuk hunting produk, kamu dimana saat aku berduka karena kepergian Bundaku, kamu dimana saat aku 3 hari terbaring sakit di kost tanpa bisa ke dokter, apakah saat itu aku menghubungimu? Iya kan, aku mencarimu, tapi kamu kemana?" Airmataku hampir tumpah, Galih makin menunduk.
"Coba kamu minta tolong sama teman komunitas mu itu yang selalu kau ajak tertawa, atau Gama yang selalu kau hibur saat dia sedih, atau Mahardika teman satu kost mu itu. Kamu, jangankan menghiburku saat sedih, saat aku kesakitan pun kamu pilih menjauh, alasanmu apa? Kamu gak tega liat aku kesakitan, gak kuat melihat aku menangis. Sekarang aku menangis, aku sedang kesakitan Gilang, pergilah menjauh dariku," ucapku sedikit parau. Kutinggalkan Gilang sendirian di taman, tanpa menoleh lagi, teriakan maafnya dikejauhan terdengar makin tajam menusuk ulu hati. Bagaimana mungkin kalimat maaf menjadi begitu menyakitkan.

Tadi sore sebelum pulang,aku mampir ke tempat kost Gilang, menemui Mahardika, padanya kutitipkan sejumlah uang untuk kost Gilang, mungkin aku bodoh, tapi aku tak sampai hati membiarkan dia dalam keadaan kacau di luar sana. Kusuruh Mahardika menemui Gilang segera dan aku pulang. Entah karena aku terlalu rindu Bundaku atau sibuk memikirkan soal mencari uang tambahan, sebuah motor ngebut menabrakku. Dan sekarang aku disini melihat jasadku ditangisi orang-orang di sebuah rumah sakit swasta. Gilang menangis paling histeris, sungguh menyayat hati, Mahardika disampingnya tampak berusaha menenangkan Gilang. Gama hanya terisak melihat kekasihnya menangis seperti itu, sambil sesekali melirik jasadku. Ayah terlihat lebih tenang, tapi aku hafal arti raut wajah itu, duka yg mendalam. Ibu tiriku terisak sambil memeluk si kecil Verno-Verni, si kembar yg selalu menyambutku dengan tawa saat aku berkunjung, mereka hanya memanggilku tanpa mengerti kenapa kakak nya di selimuti sampai menutupi wajahnya. Sekarang perjalanan ku di dunia selesai, tinggal me lanjutkan hidup di alam lain, mempertanggung jawabkan semua amalku semasa hidup. Kalian, hiduplah dengan baik, bisikku yang lebih mirip desau angin.

North Point
23 maret 2016
Ketika hujan bukan hanya diluar, tapi juga didalam hati.

Tuesday, March 15, 2016

Ketika saya mencoba bermain kata kata

Suatu hari seorang teman datang kepadaku dengan nada suara putus asa. Mungkin dia butuh seseorang yang bisa menenangkan gundah hatinya, dengan sederet doa salam hati, kucoba ulurkan tangan, kuberikan pendengaranku untuk mendengar keluhnya, kusodorkan bahuku untuk sekedar bersandar sejenak. Kemudian kuyakinkan dengan sederet kalimat, ada seulas senyum yang mungkin terlukis dari wajah sahdunya di seberang sana. Satu kata darinya, terima kasih. Dan aku mulai meraba hatiku, bisakah aku melakukan seperti yang kutuliskan ini?
Well apapun itu, kalimat ini, kutuliskan kembali, bukan untuk pamer dan sejenisnya, tapi untuk mengingatkanku, bahwa ikhlas itu wajib dilaksanakan, bila belum mampu, setidaknya jangan berhenti mencoba, akupun juga tak lelah mencoba setelah ribuan Kali gagal.