04.59pm
Pantai Ngliyep
Bayangan kami yang berdiri bersebelahan mulai membentuk
siluet diatas pasir, tak begitu indah tapi cukup membiaskan betapa pertemuan
kali ini menjadi lebih berarti dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Seperti
sepasang kekasih saja, padahal diantara kami terucap satu nkalimat cinta
ataupun saying, tak pernah sekalipun kami membahas tentang perasaan kami
masing-masing.
“Bagaimana perjalananmu kali ini? apakah cukup
menyenangkan?” tanyaku penasaran begitu melihat matanya yang lurus dan lekat
kearah pantai, bukankah dia selalu mengatakan pantai bukanlah tempat yang
paling ingin dia kunjungi.
“Sejauh ini, aku merasa nyaman karena menemanimu, bukan hal
lain, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja di tempat yang selalu
menghembuskan angin kencang seperti ini,” jawabnya tanpa menoleh.
“Sekhawatir itukah kau dengan keadaanku mas? “ aku menunduk memainkan ujung syal yang
melingkari leherku.
“Jangankan aku Nduk, semua orang akan melihat iba dengan
keadaanmu yang seperti ini,” kali ini dia menoleh kearahku, mendekap tubuhku
yang semakin kurus sejak sebulan terakhir ini.
“Apakah aku semakin buruk saja Mas,?” tanyaku sambil
bersandar dibahunya.
“Kau tak pernah terlihat buruk dimataku, tapi kali ini kau
lebih terlihat memprihatinkan,” jujur sekali ucapkan.
“Tidak bisakah kau sedikit berbohong, seperti biasanya,
seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya,” pintaku lirih.
“Percuma, bagaimana aku bisa berbohong, bila melihatmu
seperti ini, matamu sudah lebih cekung dari pertemuan kita sebelumnya, katakn
padaku seberapa banyak kau kehilangan berat badanmu, berapa helai rambutmu yang
sudah luruh ketanah, kau masih memintaku untuk berbohong? Kau bahkan lebih tahu
keadaanmu Nduk,?” ucapnya pelan.
“Setidaknya katakan kalau aku ini gadis paling cantik yang pernah
kau jumpai Mas,” ucapku mengukir senyum.
“Ya kaulah yang tercantik Nduk, kau yang paling cantik
diantara semuanya,” getaran itu terasa memberatkan suaranya.
Debur ombak meningkahi obrolan kami, senja perlahan mulai
merayap menjauh, menjadi gelap sebentar lagi gelap, aku menunggu rembulanku.
Tak jauh dibelakang kami beberapa anak muda yang mengadakan kemah mulai
menyalakan api unggun, sayup-sayup meaminkan gitar, sebuah lagu lama dari
Flanella mengalun lembut, berseling dengan derai tawa mereka.
“Aku ingin melihat rembulanku dari sini, tunggulah sejenak
Mas,” aku berusaha menarik lengannya yang hendak berdiri. Tatapan matanya
menyalak memaksaku untuk mengikutinya, tapi tidak, aku tetap ingin disini,
mungkin ini terakhir kalinya aku bisa melihat rembulan di pantai, debur ombak,
amis air laut, batu karang yang menjulang, dan pasir putih yang lembut tempat
inilah yang selalu kudatangi sejak kecil. Aku malah merebahkan tubuhku begitu
saja diatas pasir, menunggu rembulanku. Akhirnya dia mengalah, duduk disebelahku
sambil menggenggam pergelangan tanganku.
“Berjanjilah untuk tidak tertidur di tempat ini, berjanjilah
untuk tetap bernafas saat kau menikmati rembulanmu Nduk,”
“Mas, apakah kau pikir ini adegan drama? Aku tidak akan
semudah itu tumbang, aku bisa bertahan karena aku ingin menikmati satu malam di
Rabukumbolo yang sering kau ceritakan itu,”
“Baiklah, berjanjilah kalau kau akan bisa kesana, dan
nikmati sendiri edelweiss yang sangat ingin kau lihat itu,”
“Pasti, aku pasti bisa mencapai tempat itu sebelum ajalku
menjemput,”
Debur ombak seolah membelaiku, inilah nyanyian alam
terindah, nyanyian alam yang mengiringi hari kelahiranku dulu, itulah kenapa
aku diberi nama Gadis Pantai. Tak tahu siapa yang melahirkanku saat itu, tapi
di tempat inilah orang-orang menemukanku menangis, melawan kerasnya suara ombak
yang menelan habis tangisku saat itu. Di tempat ini juga aku dulu bergelung
melawan kerasnya kehidupan.
“Nduk kenapa kau mendadak jadi begitu berarti untukku?”
sayup suaranya membuatku membuka mata, dan bulan sabit kali ini seperti
tersenyum manis kepadaku, itu senyum milik pria berkacamata disampingku.
“Mas, kau sudah lama tidak tersenyum semanis itu kepadaku,
kumohon, tersenyumlah seperti bulan sabit itu,” ucapku sambil menunjuk bulan
sabit di langit.
“Seandainya senyumku kali ini bisa semanis rembulanmu,”
kemudian kulihat dia mulai menarik kedua sudut bibirnya dan itulah senyumnya.
Tapi tak lama, kemudian dia menunduk, melepas kacamatanya, kurasakan
punggungnya bergetar.
Aku bangkit, dan berusaha memeluknya, “Mas, lihatlah aku.
Bukankah aku ini gadis paling cantik yang pernah kau temui,” ucapku sambil
meraih pundaknya, berharap dia mendongak dan melihat kearahkau menyuguhkan
senyuman manisnya lagi.
Diluar dugaan dia malah meraihku dalam dekapannya, “aku masih
hidup Mas, aku belum mati,” ucapku pelan.
“Aku baru merasa kau benar-benar berarti Nduk, berjanjilah
untuk tetap hidup untukku,”
“Ya, aku berjanji Mas, aku akan tetap hidup,” bisikku pelan.
Tak jauh dati kami suara derai tawa anak-anak yang berkemah
beberapa berubah jadi suitan-suitan olok-olok, kemudian lagu lawas yang
berjudul Kemesraan mereka mainkan, terdengar menanangkan dan penuh semangat
kebersamaan.
“Mas, apakah sekarang kita pacaran?” celutukku jahil setelah
dia melepaskan pelukannya.
“Hahahaha, terserah kamu saja Nduk,” tawanya kali ini terasa
begitu ringan ditelinga.
Wlingi, 26 agt 2013
06.06 pm