17.47 Terminal Bungurasih
Setelah suara adzan berlalu
sepersekian detik yang lalu, aku tersadar waktu dua jam hampir usai, masih ada
tenggat waktu tiga puluh menit, sebelum aku benar-benar melangkah meninggalkan
terminal.
Lelaki berkacamata disebelahku masih
sibuk dengan rokok mild yang baru dia sulut, peluh terlihat mengalir
dipelipisnya, sementara ekor mataku sibuk mengamati lalu lalang orang-orang di
depanku. Aku menyukai keramaian seperti ini, keramaian yang jujur, meski tak
kupungkiri aku lebih merindukan debur ombak di pantai. Aku rindu duduk
berlama-lama di hamparan pasirnya sambil memandang lepas ke tengah lautan, dan
membiarkan panas mentari melegamkan kulitku yang memang tak bisa dikatakan
berkulit putih atau sekedar cerah, aku lebih menyukai angin pantai. Tak apa
setidaknya keramaina terminal seperti ini memberiku warna lain.
“Jadi bagaimana, masih betah
disini? Lihatlah, hari mulai gelap, aku hanya kasian bila kemalaman di jalan,”
Pria disebelahku membuka percakapan, setelah kami sempat terdiam beberapa menit
yang lalu.
“Iya, sebentar lagi,” jawabku ketus
tanpa menoleh, pandanganku masih lurus ke depan.
Kulirik sekilas wajah lelahnya,
bukankah aku dulu selalu terkagum-kagum dengan pria seperti ini, seorang pria
yang meski tak sempurna tapi bersedia mendengar keluhanku, namun nyatanya ini
kosong. Sama seperti aku ketika dalam pelukan lelakiku, juga kosong, hampa
tanpa rasa, hanya karena komitmen dan kewajibanku untuk menjaganya tetap
utuhlah yang membuatku masih bertahan pada situasi seperti ini. kenapa setelah
sekian lama aku melarikan semua kecewa itu, rasanya masih membekas kuat, seolah
semakin mengakar kuat dalam hatiku, semakin aku berusaha melepas, semakin dalam
aku terperosok jauh ke kedalaman palung luka.
Pria disebelahku melirik sekilas,
duduk bersebelahan seperti ini memang membuatku sedikit nyaman, tapi ini bukan
nyaman yang kurasakan saat aku bersama dia. Ini bukan nyaman karena cinta, tapi
hanya merasa nyaman karena ada seseorang yang sudi menganggapku ada sebagai
sahabatnya, atau apalah anggapannya terhadapku. Bahkan untuk lelaki yang seperti
inipun aku masih gagal menumbuhkan cinta lagi, masih tetap cintanya yang
merajai hatiku.
“Baiklah, aku pualng sekarang,”
ucapku sambil mengenakan jaket dan mencangklong ransel.
“Terima kasih, mau menemuiku
disini, dan berbagi cerita danganku,” ucapnya datar.
“Tidak, seharusnya aku yang
berterimaksaih, untuk waktu dan kopinya,” sambil memaksakan sebuah senyuman,
entah terlihata seperti apa senyumanku kali ini, aku tak perlu ambil pusing
lagi.
“Cepatlah, keburu malam,”
Aku sudah hampir melangkah menjauh,
tapi aku malah memutar badanku dan mengulurkan tanganku padanya. Apa-apaan ini,
hey, kenapa aku jadi genit begini, baiklah aku harus mengucapkannya lagi, “terima
kasih,” benar-benar tak ada getaran itu.
Segera kuputar tubuhku seratus
delapan puluh derajat, dan memantapkan langkahku menuju bis patas
Surabaya-Malang, sebenarnya aku ingin menoleh sekali lagi, tapi egoku melarang.
Aku cukup malu dengan pertemuan ini, sebenarnya aku tak ingin terliahta cengeng
dihadapannya, tapi malah aku membeberkan kelamahanku dihadapannya, kali ini aku
pasti terlihat konyol, wanita macam apa aku ini?
Sebenarnya aku ingin memastikan
apakah lelaki berkacamata itu telah meninggalkan kursinya, sekali lagi aku
memaksa untuk tidak malakukannya lagi. Aku memilih mengumpati diriku sendiri,
sekali lagi aku gagal menumbuhkan cinta untuk orang lain, selain dia. Uh..
pukulan telak kalimat first love never
dies itu benar-benar menjadi kutukan yang panjang.
Kuhempaskan tubuh lelahku di bangku
bis, bersebalahan dengan perempuan cantik yang melengos sebal, mungkin karena
aku mengagetkannya. Aku tak peduli, sama dengan lelaki di bangku seberang yang
menatapku dengan pandangan aneh, aku juga tak peduli. Segera kututup mataku,
dan menghadirkan slide show, lelakiku, pria berkacamata, dan dia. Tapi kenapa
wajah dia lebih dominan, menutupi hampir semua yang wajah yang berusaha
kuingat, dan sekarang hanya wajahnya yang memenuhi sel otakku.
Tuhan, kali ini aku bertanya
pada-Mu apakah aku belum keras berusaha untuk melupakannya, kalau memang ini
cinta, seharusnya tak menjadi siksa buatku.
Bis, melaju meninggalkan terminal
Bungurasih, menyisakan sepotong kecewa lain yang menggelayutiku, sekali lagi
aku gagal mengusir dia dari hatiku. Bahkan lapar yang sejak siang tadi,
mendadak hiang berganti dengan sakit yang menohok ulu hatiku. Tidak, aku tak
boleh menangis lagi, sudah terlalu banyak airmata yang kutumpahkan untuknya.
No comments:
Post a Comment