Sunday, July 28, 2013

SEPENGGAL WAKTU 1 (flash fiction)



17.47  Terminal Bungurasih
Setelah suara adzan berlalu sepersekian detik yang lalu, aku tersadar waktu dua jam hampir usai, masih ada tenggat waktu tiga puluh menit, sebelum aku benar-benar melangkah meninggalkan terminal.
Lelaki berkacamata disebelahku masih sibuk dengan rokok mild yang baru dia sulut, peluh terlihat mengalir dipelipisnya, sementara ekor mataku sibuk mengamati lalu lalang orang-orang di depanku. Aku menyukai keramaian seperti ini, keramaian yang jujur, meski tak kupungkiri aku lebih merindukan debur ombak di pantai. Aku rindu duduk berlama-lama di hamparan pasirnya sambil memandang lepas ke tengah lautan, dan membiarkan panas mentari melegamkan kulitku yang memang tak bisa dikatakan berkulit putih atau sekedar cerah, aku lebih menyukai angin pantai. Tak apa setidaknya keramaina terminal seperti ini memberiku warna lain.
“Jadi bagaimana, masih betah disini? Lihatlah, hari mulai gelap, aku hanya kasian bila kemalaman di jalan,” Pria disebelahku membuka percakapan, setelah kami sempat terdiam beberapa menit yang lalu.
“Iya, sebentar lagi,” jawabku ketus tanpa menoleh, pandanganku masih lurus ke depan.
Kulirik sekilas wajah lelahnya, bukankah aku dulu selalu terkagum-kagum dengan pria seperti ini, seorang pria yang meski tak sempurna tapi bersedia mendengar keluhanku, namun nyatanya ini kosong. Sama seperti aku ketika dalam pelukan lelakiku, juga kosong, hampa tanpa rasa, hanya karena komitmen dan kewajibanku untuk menjaganya tetap utuhlah yang membuatku masih bertahan pada situasi seperti ini. kenapa setelah sekian lama aku melarikan semua kecewa itu, rasanya masih membekas kuat, seolah semakin mengakar kuat dalam hatiku, semakin aku berusaha melepas, semakin dalam aku terperosok jauh ke kedalaman palung luka.
Pria disebelahku melirik sekilas, duduk bersebelahan seperti ini memang membuatku sedikit nyaman, tapi ini bukan nyaman yang kurasakan saat aku bersama dia. Ini bukan nyaman karena cinta, tapi hanya merasa nyaman karena ada seseorang yang sudi menganggapku ada sebagai sahabatnya, atau apalah anggapannya terhadapku. Bahkan untuk lelaki yang seperti inipun aku masih gagal menumbuhkan cinta lagi, masih tetap cintanya yang merajai hatiku.
“Baiklah, aku pualng sekarang,” ucapku sambil mengenakan jaket dan mencangklong ransel.
“Terima kasih, mau menemuiku disini, dan berbagi cerita danganku,” ucapnya datar.
“Tidak, seharusnya aku yang berterimaksaih, untuk waktu dan kopinya,” sambil memaksakan sebuah senyuman, entah terlihata seperti apa senyumanku kali ini, aku tak perlu ambil pusing lagi.
“Cepatlah, keburu malam,”
Aku sudah hampir melangkah menjauh, tapi aku malah memutar badanku dan mengulurkan tanganku padanya. Apa-apaan ini, hey, kenapa aku jadi genit begini, baiklah aku harus mengucapkannya lagi, “terima kasih,” benar-benar tak ada getaran itu.
Segera kuputar tubuhku seratus delapan puluh derajat, dan memantapkan langkahku menuju bis patas Surabaya-Malang, sebenarnya aku ingin menoleh sekali lagi, tapi egoku melarang. Aku cukup malu dengan pertemuan ini, sebenarnya aku tak ingin terliahta cengeng dihadapannya, tapi malah aku membeberkan kelamahanku dihadapannya, kali ini aku pasti terlihat konyol, wanita macam apa aku ini?
Sebenarnya aku ingin memastikan apakah lelaki berkacamata itu telah meninggalkan kursinya, sekali lagi aku memaksa untuk tidak malakukannya lagi. Aku memilih mengumpati diriku sendiri, sekali lagi aku gagal menumbuhkan cinta untuk orang lain, selain dia. Uh.. pukulan telak kalimat first love never dies itu benar-benar menjadi kutukan yang panjang.
Kuhempaskan tubuh lelahku di bangku bis, bersebalahan dengan perempuan cantik yang melengos sebal, mungkin karena aku mengagetkannya. Aku tak peduli, sama dengan lelaki di bangku seberang yang menatapku dengan pandangan aneh, aku juga tak peduli. Segera kututup mataku, dan menghadirkan slide show, lelakiku, pria berkacamata, dan dia. Tapi kenapa wajah dia lebih dominan, menutupi hampir semua yang wajah yang berusaha kuingat, dan sekarang hanya wajahnya yang memenuhi sel otakku.
Tuhan, kali ini aku bertanya pada-Mu apakah aku belum keras berusaha untuk melupakannya, kalau memang ini cinta, seharusnya tak menjadi siksa buatku.
Bis, melaju meninggalkan terminal Bungurasih, menyisakan sepotong kecewa lain yang menggelayutiku, sekali lagi aku gagal mengusir dia dari hatiku. Bahkan lapar yang sejak siang tadi, mendadak hiang berganti dengan sakit yang menohok ulu hatiku. Tidak, aku tak boleh menangis lagi, sudah terlalu banyak airmata yang kutumpahkan untuknya.

No comments:

Post a Comment