Saturday, March 2, 2013

JUM'AT KE 13


JUM'AT KE 13

Seorang wanita berpiyama masih termangu di bawah lampu jalan yang temaram, wajahnya nampak tenang namun gerai rambut sepinggangnya menceritakan kepekatan yang sangat. Aku yang sedari tadi bolak-balik melewati jendela selalu menangkap bayangannya. Seharusnya aku sudah tidur jam sebelas tadi, namun pekerjaan kantor yang menggunung melarangku untuk tidur. Kuambil coke dari pendingin, dan kembali mengamati wanita di bawah sana. Entah apa yang dia lakukan di tempat itu, sampai ujung malam dia masih di sana. Tapi apa peduliku dengan wanita itu, toh aku tak mengenalnya, mungkin lebih baik aku segera tidur saja.

"Tolong aku Mayang, selamatkan aku, sekali ini saja," rintih perempuan berwajah pucat dengan mimik ketakutan.

"Aku tak mengenalmu, panggil polisi saja," ucapku sambil menepis tangannya.

"Hanya kamu yang bisa menolongku, kumohon tolong aku Mayang," kali ini dia menangis. Ujung matanya meneteskan darah, membuat kulit pucatnya terkelupas. Wajah pucat itu kini berubah menakutkan dengan kulit mengelupas, di sertai anyir darah yang membuatku mual.

"Jangan ganggu aku, pergi, pergi, pergiiii," teriakku sambil menghalau nya pergi.

"Gedebukk.., aw,,," brengsek, aku terjatuh. Setelah pulih kesadaranku, baru aku sadar, tadi hanya mimpi, tapi mengerikan sekali. Mungkin aku harus melupakannya, dan segera bersiap untuk berangkat kerja.

*****


"Pak, semalam yang jaga di sini siapa ya?" tanyaku, pada satpam jaga di depan apartemen.

"Semalam saya yang jaga mbak, ada apa ya?" satpam itu balik bertanya padaku.

"Apalah, bapak melihat wanita berambut sepinggang berdiri di bawah lampu itu?" tanyaku sambil menunjuk lampu merkuri di pinggir jalan depan apartemen.

"Semalam tidak ada siapa-siapa kok mbak, kecuali orang lewat saja," jawabnya setengah bercanda.

"Wanita itu berpiyama, dan hampir sepanjang malam aku melihatnya di sana, masa bapak gak liat sich?" ucapku gusar, tapi satpam itu menggeleng pasti. Tapi bagaimana mungkin satpam ini tak melihat wanita itu semalam. Aku mencoba berdiri di tempat satpam itu berdiri, dan mencoba melihat ke arah lampu merkuri tempat wanita yang semalam kulihat berdiri di bawahnya. Jelas sekali, tidak mungkin satpam ini tak melihatnya. Baiklah, mungkin itu hanya pengaruh workholic-ku yang kian memburuk akhir-akhir ini. Mungkin aku butuh hiburan, bukankah Laura memilihkan apartemen ini, agar aku bisa sedikit lebih tenang.

****

"Hah,,!" aku berteriak spontan, karena tiba-tiba saja ada wanita muda di sampingku. Padahal saat lift terbuka tidak siapapun di sampingku, wanita itu cantik sekali, tubuh seksinya tampak sempurna dalam balutan gaun Dior yang sederhana, wajah tirusnya semakin terlihat anggun dengan sanggul modern yang elegan. Dia sempat tersenyum padaku saat melangkah keluar di lantai 12, langkah kakinya yang teratur dengan Feragamo membuatnya terlihat sempurna.

"Mayang,,, tolong aku," suara itu menghantam gendang telingaku, membuat bulu kudukku berdiri. Buru-buru aku memencet nomor 14 pada tombol-tombol di depanku.

"Mbak penghuni baru ya?" tanya seorang lelaki setelah pintu lift terbuka.

"Mbak menempati apartemen 14D Ya?" lelaki itu kembali menanyaiku, tapi aku sedang kacau, bahkan untuk mengiyakan pertanyaannya saja aku tak sempat.

"Hati-hati mbak," teriaknya kemudian. Dengan tergesa aku membuka pintu, dan "wuss..." hawa dingin yang teramat sangat menampar wajah pucatku. Aku semakin memasi, saat menyadari kulkas di dapur terbuka dan semua AC di apartemenku menyala pada suhu lima belas derajat. Tiba-tiba saja nafasku sesak, nafasku tersengal antara takut dan dingin yang menggigit. Kuraih handle pintu, tapi aku gagal membukanya. Dengan panik aku menekan tombol alarm di samping pintu apartemenku, hingga semuanya terasa gelap.

"Mayang, kumohon jangan tinggalkan aku, aku takut," rintihan itu lagi. Wanita berwajah pucat itu, menggenggamku erat. Meski aku sudah menangis memohon, tapi dia enggan melepaskan cengkramannya.

"Aku tak mengenalmu, jangan ganggu aku," pintaku menghiba.

"Aku kedinginan Mayang, keluarkan aku dari tempat ini, kumohon..." rintihnya lagi. Dan air mata darah itu kini membuat kulitnya mengelupas, setiap gerakannya menimbulkan bunyi "krek.. Krek.." seperti ranting kering yang terinjak. Satu persatu, poros pada tubuhnya terjatuh.

"Tidaaaak,,, pergi, pergi, pergiiiiii,,,," teriakku ketakutan.

"Mayang, mayang, bangunlah sayang," suara ini, sepertinya aku kenal.

"Plak.. Plak.." tamparan keras itu, membuat semuanya terang kembali. Hampir saja aku melonjak melihat Laura tepat di depan mataku, "Laura aku takut," bisikku sambil memeluk Laura erat.

"Sudahlah sayang, aku di sini, menemanimu," ucapnya lembut sambil mencium ubun-ubunku. Ada nyaman yang menjalari urat nadiku, aku sedikit bisa tenang.

"Wanita itu, mengerikan," bisikku di antara isak yang tinggal satu-satu.

"Tak ada siapapun sayang, sudahlah kau akan baik-baik saja, semua hanya mimpi buruk," ucap Laura sambil membaringkanku kembali, dan membiarkan aku menikmati belaian lembut jemarinya. Hingga aku terlelap dalam pelukannya.


Hangat mentari pagi membelai lembut pipiku, aku mengerjap pelan, karena silau cahayanya.

"Selamat pagi Mayang," sapa Laura sambil membuka tirai jendela kamarku. Aku hanya tersenyum hambar menyahuti sapaannya, kepalaku masih berat, badanku rasanya ngilu semua, mungkin akibat kejadian semalam.

"Kantor memberimu ijin cuti satu bulan," ucap Laura lembut, kemudian duduk di sampingku. Aku masih termangu mengingat kejadian semalam, suara itu seolah nyata, dan wanita cantik itu.

"Kau hanya butuh istirahat, mungkin perjalanan ke Bali akan membuatmu lebih fresh," saran laura padaku.

"Aku bosan ke Bali, aku ingin di rumah saja, nonton DVD atau main game sampai pagi," ucapku sambil memaksakan sebuah senyuman.

"Baiklah, terserah padamu saja. Aku mau berangkat kerja, kalau ada apa-apa telfon aku ya," pamitnya kemudian sambil mencium keningku. Sepeninggal Laura, aku mencoba untuk tidur lagi. Kucoba memejamkan mata, tapi gagal. Pikiranku kalut, mungkin ada baiknya aku keluar jalan-jalan. Segera aku turun dari ranjang, dan bergegas mandi. Aku ingin jalan-jalan, mungkin ke pasar atau ke mall, aku terlalu sibuk bekerja. Semenjak Rasya menikahi Cintya, setahun yang lalu, aku memilih kerja tanpa libur. Hatiku terlalu sakit, aku menyukai Rasya sejak kami masih SMA, tapi dia memilih Cintya, teman sekantorku.

"Mayang..." suara itu lagi. Aku bisa gila kalau begini, segera kusambar ranselku di atas meja, kemudian mengenakan kets.ku dengan terburu-buru. Suara itu membuatku gila, setengah berlari aku menyusuri koridor, menuju lift.

"Mayang, tolong aku," rintih suara itu mengikutiku. Keringat dingin mulai membasahi dahiku, tengkuku merinding di buatnya, aku menggigil di depan pintu lift.

"Tetangga baru, cepat masuk," tiba-tiba seorang lelaki menarik tanganku ke dalam lift yang pintunya sudah terbuka sejak tadi. Di dalam lift aku masih terbengong linglung, sementara lelaki itu masih menggenggam tanganku erat. Hingga aku merasa ada beban berat yang menggantung di lengan kiriku, kemudian aku tak sadarkan diri.


Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang memanggilku, bukan perempuan itu, tapi seorang lelaki. Pelan-pelan kubuka mataku, wanita cantik itu hanya melihatku sekilas, kemudian sibuk menekan tombol lift, dan menghilang di balik pintu.

"Syukurlah kau sudah sadar, minumlah air putih ini, agar kau enakan," ucap lelaki itu ramah, sambil menyodorkan sebotol air mineral.

"Kenapa aku di sini?" tanyaku setelah minum beberapa teguk, di meja informasi nampak dua satpam sibuk merundingkan sesuatu.

"Sebaiknya kita pergi saja," ajaknya sambil menarikku. Aku mengangguk pada dua satpam di meja lobi, sebagai ungkapan terima kasih saja.

"Namaku Harlan, mbak penghuni 14D kan?" tanya pemuda itu, dia 10 senti lebih tinggi dariku, wajahnya manis dengan kacamata model sport yang bertengger di atas hidungnya. Gayanya santai tapi rapi, kulit gelapnya nampak kian apik dengan gelang model etnik-gothic.

"Apakah kau mengetahui sesuatu tentang apartemenku?" tanyaku tanpa menyebutkan namaku lebih dulu. Lelaki itu menghentikan langkahnya, membiarkanku berjalan sendirian, beberapa langkah kemudian, aku tersadar kalau dia jauh di belakangku. Wajah manisnya nampak tertegun memandangiku, kemudian beralih menatap gedung apartemen kami yang memang belum terlalu jauh. Aku mengekori pandangannya, dan berhenti pada satu lantai, tepat di lantai 13. Dari kaca jendela nampak bayangan orang-orang sibuk beraktifitas, "Rasya, Cintya," gumamku lirih, jadi selama ini mereka menghuni apartemen yang sama denganku.

"Lihatlah lebih jelas," ucap Harlan sambil menutup mataku dengan kedua tangan kokohnya.

"Bukalah matamu," bisiknya tepat di telingaku, kuikuti sarannya. Alangkah terkejutnya aku, lantai 13 kosong tak ada siapapun, tirainya nampak kusam, menari tertiup angin.

"Lantai 13 tak pernah bisa di tempati, seharusnya mereka tahu itu. Lantai 13 bukan milik manusia," ucapnya datar, "ayo ikut aku," kali ini tanpa menarik tanganku, aku hanya mengikutnya tanpa banyak tanya. Harlan mengajakku ke pasar tradisional, dia membeli sekeranjang mawar putih. Aku tak berani bertanya, hanya mengikutinya saja dengan perasaan heran.

"Siapa namamu mbak," tanyanya tanpa menoleh.

"Kamu bisa memanggilku Mayang, tanpa embel-embel Mbak."

"Bekerja?" kali ini dia mensejajari langkahku yang agak lambat.

"Aku kerja di bidang properti, kalau kamu?" kucoba mencairkan suasana yang mulai kaku.

"Aku hanya wartawan lepas," jawabnya sambil tersenyum lebar. Setelah agak lama berjalan, dia berhenti.

"Apakah kau takut?" tanyanya sambil menatapku lekat, aku hanya menggeleng pasti. Lagipula ini masih terlalu pagi untuk merasa takut ke makam umum. Aku masih mengikutinya, hingga dia berhenti pada beberapa makam yang mempunyai nisan warna hitam dengan model sama.

"Kau lihat, nisan-nisan itu?" tanyanya padaku yang masih bingung dengan pertanyaannya.

"Mereka di temukan mati di lantai 13, atau jatuh dari lantai 13 tepat pada hari jum'at tanggal 13," aku bergidik ngeri mendengar penjelasan Harlan, sementara itu dia menaruh setangkai mawar di atas pusara, satu persatu, hingga menyisakan satu tangkai saja.

"Sebelum apartemen itu selesai di bangun, seseorang mati di lantai 13, tubuhnya hancur tertimpa palang besi seberat 5 ton, belakangan baru di ketahui, kalau orang itu adalah putra pemilik apartemen tersebut."

"Apakah dia di kuburkan di sini?" tanyaku padanya.

"Tidak, dia sengaja di bunuh, untuk tumbal atau semacamnya. Mandor menyuruh anak buahnya untuk menutupi mayat yang telah hancur itu dengan adonan beton," nampak kesedihan yang amat sangat dari raut wajahnya. Tiba-tiba mataku berhenti pada sebuah nisan dengan nama yang sangat kukenal, "Rasya,,," setengah berlari aku menghampiri makam paling ujung.

"Dia kekasihmu? dia baru meninggal tiga bulan yang lalu," Harlan menarikku dalam pelukannya, dan membiarkan aku menangis sepuasnya.

"Hampir maghrib, sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini," bujuk Harlan setelah aku berhasil menghentikan tangisku.

"Biarkan aku di sini lima menit lagi, kau boleh pulang duluan bila tak mau menemaniku," jawabku dengan suara serak.

“Kupikir, kalian hidup bahagia, tapi kenapa aku menemukanmu di sini, Rasya," isakku tertahan.

"Sebaiknya kau pulang Mayang," sebuah suara yang pernah kuakrabi mengagetkanku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak ada siapapun.

"Sebaiknya jangan kembali ke apartemen itu Mayang," suara itu kembali menghentak telingaku.

"Rasya... Kaukah itu," teriakku kalut. Tiba-tiba saja anyir darah menusuk hidungku, tengkukku merinding hebat, aku semakin ketakutan, saat melihat bayangan pucat Rasya tak jauh dari makamnya, tanpa terasa aku melangkah mundur, setiap satu langkah, maka bertambah satu sosok pucat di hadapanku. Mereka menyuruhku segera pergi, akupun berlari semampuku, hingga tanpa terasa menabrak seseorang di pintu makam. Kemudian semua terasa gelap.

“Apa yang kau lakukan di makam itu sendirian,?” laura menatapku marah. Kesadaranku belum sepenuhya pulih, kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan berwarna putih yang kutempati.

“Aku dimana?” tanyaku mengacuhkan pertanyaan Laura.

“Di rumah sakit,” jawabnya sedikit kasar.

“Mana Harlan?” tanyaku tak memperdulikan kemarahan Laura.

“Jadi Harlan yang membawamu?” desis Laura terkejut.

“Kau, mengenalnya?” tanyaku penasaran.

“Siapa yang tidak mengenal Harlan, anak konglomerat nomer satu negeri ini, dia putra Prabu Wijaya,” jawab Laura.

“Aku ingin pulang.”

“Jangan sekarang May, kesehatanmu belum pulih.” Bujuk Laura.

“Aku merasa baik-baik saja kok,” jawabku sambil berusaha untuk berdiri.

“Tunggu dulu, tadi kamu bilang Harlan yang mengajakmu ke makam itu kan?”

“Iya, memangnya kenapa?”

“Bukankah dia sudah mati?” tanya Laura entah pada siapa.

“Bukankah Harlan hanya menghilang,?” aku balik bertanya pada Laura.

“Oh iya, maksudku dia menghilang, well, kamu sudah merasa lebih baik? Aku akan mengantarmu pulang,” Laura mencoba mengalihkan topik pembicaraan kami. Aku hanya mengiyakan saja tawarannya untuk mengantarku pulang, sementara Laura ke bagian administrasi, dengan dibantu seorang suster aku segera bersiap-siap untuk pulang.

****

Mungkin ada baiknya kalau aku mulai mencari tahu sendiri penyebab kematian Rasya, mungkin Harlan bisa membantuku. Tapi kemana aku bisa menemukan lelaki itu, dia datang dan pergi sesuka hati. Sudah dua minggu sejak aku keluar dari rumah sakit, tapi usahaku untuk menemui leleki gagal. Orang security yang kutanya tetang Harlan hanya memberikan jawaban dengan gelengan kepala tiga kali, pertanda mereka tak tahu apapun tentang Harlan. Namun saat aku menanyakan tentang lelaki itu kepada Bu Asih, petugas kebersihan senior di gedung ini, beliau malah lari ketakutan dengan wajah pucat pasi. Siapa sebenarnya Harlan ini?

Di luar gerimis masih enggan berlalu, padahal matahari sudah condong ke barat. Sekelebat aku menangkap sesosok wanita berpiyama di bawah lampu merkuri di pinggir jalan.

“Siapa ya wanita itu,” gumamku sambil bergegas keluar.

“Mayang,” panggil sebuah suara berat begitu aku selesai menutup pintu. Betapa kagetnya aku, karena pemilik suara itu sudah berada tepat di depanku, Harlan.

“Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku, antara takut dan gugup. Bukan karena kehadiran Harlan, tapi lebih pada bau anyir darah dan sekelebat bayangan putih di balik pintu tangga darurat.

“Harlan, apakah kau melihatnya,?” tanyaku pada Harlan yang masih mematung di depanku.

“Apa yang kau lihat,” dia balik bertanya padaku.

“Entahlah, tapi sepertinya ada orang di tangga, apakah kau tak mencium bau darah sama sekali?”

“Aku tak mencium aroma apapun di sini, mungkin karena aku sedang pilek,” jawabnya enteng.

“Ya mungkin saja, karena kulihat wajahmu pucat begitu,”

“Kau mau kemana?” tanya Harlan begitu melihatku melangkah menuju pintu tangga darurat.

“Aku ingin lewat tangga,” jawabku pendek. Tanpa banyak komentar Harlan mengikutiku, bau anyir itu semakin kuat menusuk hidungku, membuatku mual.

“Apa tak ada seorangpun yang mencium bau busuk ini selain aku,” gerutuku sambil menuruni anak tangga. Kulihat ke bawah dan ke atas tapi tak ada seorangpun di tangga itu, kecuali aku dan Harlan.

Hey, inikan lantai 13, berarti masih ad satu lantai di bawah apartemenku, dan hanya bisa di akses menggunakan tangga darurat.

“Kau ingin ke sana?” tanya Harlan begitu melihatku mematung di depan pintu bertuliskan angka 13.

“Iya, aku penasaran dengan tempat ini.” jawabku sambil membuka pintu itu.

Di lantai 13 tak ada apartemen seperti yang kukira, seperti aula atau ruang serbaguna. Dari cahaya lampu jalan dan lampu dari gedung-gedung lain yang berdekatan dengan gedung ini, aku dapat melihat ada semacam panggung megah terbuat dari semen, panggung permanen. Mungkin tempat ini akan di pakai untuk tempat pesta atau pertunjukan seni, namun entah kenapa di kosongkan begini.

“Tolong aku Mayang,” sebuah suara datar tiba-tiba mengagetkanku.

“Apa kau mendengarnya,?” tanyaku pada Harlan yang bersandar di dinding.

“Mayang, tolong keluarkan aku dari tempat ini,” suara itu kembali menampar gendang telingaku. Aku bingung mencari arah suara itu, karena itu jelas bukan suara Harlan, itu suara wanita. Dari jendela yang terbuka, aku melihat wanita itu, wanita berpiyama dengan rambut sepinggang, tangannya menunjuk satu arah yang tak jelas kupahami. Ekor mataku mengikuti arah tangannya, dan aku menangkap sesuatu di ujung ruangan. Aneh, siapa yang menaruh freezer di sini.

Seperti orang lupa diri, segera aku berlari untuk membuka pintu freezer itu, namun tiba-tiba angin besar menggulung-gulung menyedotku, samar aku melihat Harlan panik, namun usahanya sia-sia, karena aku sudah tersedot lingkaran labirin yang membuatku pusing. Kukira aku akan pingsan, tapi ternyata akju salah. Tiba-tiba saja aku sudah berada di apartemenku lagi, namun penataan ruangnya sedikit berbeda. Di dapur aku melihat bayangan orang berkelahi, dua orang perempuan. Aku mengenal mereka dengan baik, Laura dan Cintya. Mereka bertengkar hebat, namun aku tak mendengar suara mereka, bahkan ketika aku berusaha melerai mereka aku hanya menangkap udara kosong. Lalu salah Laura memukul Cintya dengan panci hingga wanita itu pingsan.

Laura pucat ketakutan melihat Cintya pingsan, entah setan apa yang merasuki pikirannya. Tiba-tiba saja dia berusaha memasukkan Cintya ke dalam freezer dekat mesin cuci, sebelum Laura menutup pintunya Cintya tiba-tiba sadar dan menarik rambut Laura. Dengan sekuat tenaga Laura menarik rambtnya dan mendorong tubuh Cintya hingga kepalanya membentur dinding freezer, tubuh itupun diam tak bergerak, dengan leluasa Laura segera menutup pintu freezer dan menguncinya rapat-rapat. Namun nahas, tiba-tiba Rasya datang, wajah letihnya terkejut begitu melihat Laura ada di rumahnya, mereka bertengakar lagi, berebut kunci freezer. Dengan gerakan cepat Laura membuang kunci yang tadi ada di genggamannya, tak ingin buang kesempatan Rasya mengejar kunci itu, padahal Laura membuangnya keluar jendela. Dan seperti mimpi, tiba-tiba aku kembali tersedot dalam suatu tempat yang gelap, semakin gelap dan pekat.

****

Saat aku membuka mata, semuanya kembali normal dan aku seperti bangun dari tidur saja. Di luar matahari sudah meninggi.

“Bagaimana perasaanmu, apakah kau merasa baik-baik saja,” tanya Harlan yang santai duduk di sofa sambil nonton tivi.

“Seharusnya begitu, tapi entahlah, aku masih capek, lagipula bagaimana caramu masuk ke apartemenku,” tanyaku keheranan.

“Aku yang mengantarmu pulang, tapi sun gguh aku tak melakukan apapun padamu,” ucap Harlan dengan mimik serius.

“Baiklah, aku percaya padamu, jadi semalam kau juga melihat kejadian itu kan?” tanyaku penuh harap.

“Ya, aku melihatmu pingsan di depan freezer, di lantai 13,” jawab Harlan santai.

“Tentang pembunuhan itu,?” tanyaku lagi, untuk memastikan bahwa aku tak bermimpi semalam.

“Semalam tidak ada pembunuhan, aku heran, kenapa kau seri ng pingsan? Apa kau punya penyakit serius?” Harlan balik bertanya untuk mengalihkan topik.

“Mungkin aku hanya mimpi, tapi baiklah, sepertinya aku harus segera siap-siap, ada banyak urusan yang harus kukerjakan,”

“Mayang, kenapa ya aku tak bisa melakukannya padamu?” gumam Harlan lirih namun sempat tertangkap oleh indra pendengaranku.

“Apa yang ingin kau lakukan padaku?” tanyaku penuh selidik.

“Oh ya, apakah kau lahir tanggal 13 pada hari jum’at bulan oktober?” Harlan balik bertanya padaku.

“Bagaimana kau tahu itu?”

Harlan hanya tersenyum sambil menunujukkan kartu identitas kantorku.

“Apa kau akan memberiku kejutan?”

“Apapun, di hari ulang tahunmu,” jawabnya enteng sambil berlalu pergi dari kamarku.

****

“Laura, apakah kau tahu kemana Cintya pergi setelah Rasya meninggal,” tanyaku pada Laura saat kita makan siang di kantin kantor..

“Katanya sich dia ingin melanjutkan studinya ke Prancis,” Laura menjawab enteng, sambil mengunyah makanannya.

Aku memperhatikannya berharap menemukan secuil kegugupan pada wajahnya, “bukankah kalian bersahabat baik,” lanjutku.

“Iya sich, tapi seperti yang kau tahu, kami sudah tidak akur lagi sejak dia menikah dengan Rasya,”

“Iya ya, kenapa aku sampai lupa akan hal itu,”

“Aku juga sudah melupakannya kok May, sakit kalau di ingat terus,”

“Ngomong-ngomong sejak kapan telingamu terluka Ra?” tanyaku begitu melihat luka kecil di telinganya, saat dia menyibak rambut panjangnya.

“Oh ini, udah lama kok, cuma kamu gak perhatian aja, aku udah kenyang nih, kamu udah belum?”

“Udah sich, yuk balik ke kantor lagi,” akupun menyudahi makanku. Mungkin itu hanya mimpi buruk saja.

****

Sepulang dari kantor, aku keheranan melihat banyak mobil polisi di depan gedung apartemenku, lalu sekonyong-konyong petugas itu membawa kantong mayat keluar gedung.

“Pak, siapa yang mati ya?” tanyaku pada satpam apartemen.

“Loh, bukannya Mbak yang semalam melaporkan pada kami, tentang freezer mencurigakan di lantai 13?” jawab petugas itu keheranan dengan pertanyaanku.

“Aku,?”

“Iya, kami sempat tak percaya kalau di freezer itu ada mayatnya seperti yang Mbak bilang, tapi setelah di buka ternyata Mbak benar,” sambung satpam satunya.

“Ternyata mayat perempuan bekas penghuni apartemen 14D, sungguh kejam pembunuhnya,” ucap cleaning servis yang entah sejak kapan ikut nimbrung di situ.

“Apakah pembunuhnya sudah tertangkap,?” tanyaku penasaran.

“Entahlah, tapi kelihatannya Polisi menemukan anting-anting yang tersangkut dei jarinya dan beberapa helai rambut, coba Mbak tanya langsung petugas itu,” jawab petugas itu sambil menunjuk petugas yang sibuk keluar masuk gedung. Tiba-tiba saja seorang petugas yang membawa barang bukti melintas di depanku, dan entah mengapa aku berteriak marah tanpa kusadari.

“Itu milik Laura, dialah pembunuhnya,” disaat yang bersamaan Laura datang dengan naik taksi, wajah riangnya yang tadi kulihat kini berubah keruh, memucat penuh ketakutan. Semua yang ada di situ nampak terkejut dengan teriakanku, tanpa disadari oleh siapapun, tiba-tiba Laura menyerangku dengan sebilah pisau. Dengan satu hentakan keras, pisau itu berhasil merobek lambungku. Kulihat kepuasan di wajah Laura, namun perih yang teramat sangat membuatku jatuh. Sepintas aku masih mendengar suara panik, dan teriakan histeris, dan suara itupun ikut lenyap saat aku menutup mataku, bersama seluruh rasaku.

****

Tentang mayat itu, Polisi menyelidiki rumah Laura. Di sana mereka menemukan catatan harian yang di tulis Laura sejak dua tahun lalu. Ternyata ayah Laura adalah mandor yang mengubur putra pemilik apartemen, bahkan dia yang sengaja menjatuhkan palang besi seberat 5 ton itu, lalu menyuruh anak buahnya untuk membantu menguburkan mayat itu.

Polisi kembali membongkar lantai 13, di bawah panggung semen mereka menemukan tulang belulang menusia dan beberapa helai baju beserta kartu identitas korban. Tak jauh dari tulang belulang itu polisi menemukan kartu identitas sang mendor, yang mungkin terjatuh saat mengubur mayat yang hancur itu. Dari kartu identitas korban, ternyata mayat yang telah mati itu adalah Harlan. Sekarang di antara makam yang pernah di datangi Mayang dulu nampak tiga makam baru, milik Cintya istri Rasya, Harlan anak pemilik apartemen, dan Mayang sang penutup dari seluruh tumbal ilmu hitam sang mandor.

Mereka mati saat tanggal 13 hari jum’at, sedangkan tumbal pertama dan terakhir lahir dan mati pada tanggal dan hari yang sama. Sedangkan Laura mendekam di rumah sakit jiwa karena depresi berat, sedangkan ayahnya mendekam di penjara seumur hidup, menunggu ajal yang tak kunjung tiba. Ilmu hitam yang dimiliknya tak membuatnya mati walau penyakit menggerogoti tubuh tuanya.

_END_

No comments:

Post a Comment