Mencoba romantis? Jangan harap bisa dia lakukan kepadaku. Seharian
ini aku sebenarnya merasa sakit kepalaku kian menghebat, tapi demi lelaki
berkacamata yang duduk di sampingku kali ini aku bisa menahannya, bahkan aku
bisa bertahan untuk tidak mengeluh. Semalam mendadak dia datang ke rumah
bersama seorang teman lainnya, mengajakku ke Gunung Kelud untuk survey lokasi,
entah apa yang dia lakukan bersama teman-teman sehobinya itu, aku hanya
mengikuti saja sebagai penunjuk jalan yang baik sekaligus pemandu wisata
dadakan.
Sedangkan temannya sibuk mengambil gambar di sekitar Anak
Gunung Kelud, dia malah asik berselonjor kaki disampingku. Tak peduli dengan
beberapa orang yang juga asyik berpose disekitar kami, dia terlihat acuh, sama
acuhnya sepertiku yang duduk begitu saja di pinggir tangga.
“Nduk, kamu sakit? Kenapa pucat?” tanyanya tanpa melihat
atau menoleh ke arahku, matanya malah sibuk mengamati tebing di seblah Anak
Gunung Kelud.
“Aku baik-baik saja, kalau sakit, saat ini aku tak mungkin
mengiyakanmu untuk mengantar sampai ketempat ini,” ucapku berbohong.
“Berkacalah, bahkan bedakmu itu tak mampu member rona segar
seperti biasa saat kau tertawa atau sekedar diam menekuri tanah yang kau pijak
seperti saat ini,” kali ini mata dibalik kaca mata itu menatapku tajam,
menuntutku untuk jujur.
Aku menggeleng kuat, lalu berdiri memasukkan tangan di saku
celana jins ku, “percayalah Mas, aku masih mampu menahan tubuhku sendiri, bila
saatnya tiba tanpa kau mintapun aku akan bercerita padamu, semuanya.”
“Dasar kepala batu, kalau tahu begini kemarin seharusnya aku
mengabari dulu kalau akan menemuimu, bukannya mendadak dan memeberimu kejutan
seperti tiu ya,” ucapnya sambil mengalungkan syal rajutannya ke leherku, “kau
kedinginan, aku tahu itu,” sambungnya, kemudian melangkah beberapa langkah di
depanku, membidikkan kameranya ke beberapa arah.
Aku berbalik, memandangi Anak Gunung Kelud yang terus
mengeluarkan asap, tempat ini dulunya adalah kawah, tapi setelah meletus beberapa
tahun yang lalu, muncul kubah lava yang lama kelamaan menjadi sebesar ini.
“Kau harus menunggu sampai langit gelap bila ingin menikmati
pijar lava itu, akan lebih indah katanya, atau naiklah ke puncak Gajah Mungkur
untuk menikmati sunset di tempat ini,” ucapku pada pria berkacamata dan
temannya yang tak berdiri tak jauh dari tempatku.
Seorang temannya membri isyarat agar menemaninya sampai
malam, tapi pria berkacamata itu malah merengut kesal, dan beralih
menatapkutajam, ada marah dari tatapannya kali ini.
“Tak masalah, aku masih bisa menemani kalian, tempat ini tak
memberatkanku, aku sanggup untuk menuruni pemandian air panas di Sungai Bladak,
kemudian naik ke Puncak Gajah mungkur itu,” ucapku sambil menunjuk ke suatu
arah yang menurutku menjadi tujuan yang akan kami datangi.
“Tidak, tujuan kita kesini hanya survey lokasi bukan untuk
yang lainnya, stelah ini kita langsung pulang saja, tak perlu senekat itu kau
Nduk,” ada getar cemas dari kalimat yang dia ucapkan barusan.
Sementara temannya melihatku berharap aku membujuknya lagi
untuk mau tinggal sampai langit gelap, aku hanya menggeleng pelan, dan
mengisyaratkan “bukankah dia teman baikmu?”, dia malah balas menatapku seolah
mengatakan,”untuk kali ini kau yang bisa menguasainya,” dan sekali lagi aku
menggelang menandakan kalau aku tak berani membantah kalimatnya barusan.
Terlihat dua pria itu berdebat memunggungiku, sambil
sesekali menoleh kearahku, pasti pria berkacamata itu terlalu khawatir,
kuputuskan untuk menghampirinya.
“Untuk sampai di Puncak Gajah Mungkur hanya perlu mendaki
492 anak tangga, aku akan mengalah untuk tidak menuruni 1000 anak tangga menuju
Sungai Bladak, kalau kau memang khawatir denganku,” aku menoleh pada pria
berkacamata, dan menatap tegas pada bola matanya. Sementara temannya malah
sudah tersenyum-senyum senang, sambil memainkan ujung jaketnya mungkin dia
yakin kalau kalimatku barusan bisa membuat pria berkacamata ini mengucapkan
kalimat “iya”.
Dia mendekap kedua lenganku, dan menatapku tajam, “kamu
yakin bisa?” ucapnya kemudian, aku hanya perlu mengangguk mantap untuk menjawab
pertanyaan barusan, dan benar saja, ketika dia menoleh pada temannya dan
mengangguk samar, pria yang berdiri disebelahnya itu melonjak girang, bahkan
hampis terjatuh dari pinggir anak tangga.
Aku hanya mengulum senyum kecil, “mas kamu mirip sama anak
itu,” ucapku padanya sambil menunjuk anak usia Sembilan tahunan berkuncir dua
dengan jaket warna pink yang dari tadi lonjak-lonjak antara senang dan tak
sabar. Dia langsung terdiam kemudian tertawa lebar, sedangkan pria berkacamata
disampingku malah terlihata tak yakin dengan anggukannya barusan, sekali lagi
aku meyakinkannya, menaruh tanganku pada pundaknya agar dia menoleh dan melihat
anggukan kesungguhanku.
Aku berusaha menepi, menjauhi mereka, menyembunyikan penat
dan pening yang menghebat, sambil memandangi punggung pria berkacamata yang
sempat mengisi hari-hari terakhirku, mungkin iya, mungkin juga tidak. Kurapatkan
jaketku sambil bersedekap dan bersandar pada palang besi pinggir tangga, ikut
berjejer dengan fotografer instan di tempat itu.
Wlingi, 24 agt 2013
11.54
No comments:
Post a Comment