Saturday, August 24, 2013

SEPENGGAL WAKTU 3 (FF)

Mencoba romantis? Jangan harap bisa dia lakukan kepadaku. Seharian ini aku sebenarnya merasa sakit kepalaku kian menghebat, tapi demi lelaki berkacamata yang duduk di sampingku kali ini aku bisa menahannya, bahkan aku bisa bertahan untuk tidak mengeluh. Semalam mendadak dia datang ke rumah bersama seorang teman lainnya, mengajakku ke Gunung Kelud untuk survey lokasi, entah apa yang dia lakukan bersama teman-teman sehobinya itu, aku hanya mengikuti saja sebagai penunjuk jalan yang baik sekaligus pemandu wisata dadakan.
Sedangkan temannya sibuk mengambil gambar di sekitar Anak Gunung Kelud, dia malah asik berselonjor kaki disampingku. Tak peduli dengan beberapa orang yang juga asyik berpose disekitar kami, dia terlihat acuh, sama acuhnya sepertiku yang duduk begitu saja di pinggir tangga.
“Nduk, kamu sakit? Kenapa pucat?” tanyanya tanpa melihat atau menoleh ke arahku, matanya malah sibuk mengamati tebing di seblah Anak Gunung Kelud.
“Aku baik-baik saja, kalau sakit, saat ini aku tak mungkin mengiyakanmu untuk mengantar sampai ketempat ini,” ucapku berbohong.
“Berkacalah, bahkan bedakmu itu tak mampu member rona segar seperti biasa saat kau tertawa atau sekedar diam menekuri tanah yang kau pijak seperti saat ini,” kali ini mata dibalik kaca mata itu menatapku tajam, menuntutku untuk jujur.
Aku menggeleng kuat, lalu berdiri memasukkan tangan di saku celana jins ku, “percayalah Mas, aku masih mampu menahan tubuhku sendiri, bila saatnya tiba tanpa kau mintapun aku akan bercerita padamu, semuanya.”
“Dasar kepala batu, kalau tahu begini kemarin seharusnya aku mengabari dulu kalau akan menemuimu, bukannya mendadak dan memeberimu kejutan seperti tiu ya,” ucapnya sambil mengalungkan syal rajutannya ke leherku, “kau kedinginan, aku tahu itu,” sambungnya, kemudian melangkah beberapa langkah di depanku, membidikkan kameranya ke beberapa arah.
Aku berbalik, memandangi Anak Gunung Kelud yang terus mengeluarkan asap, tempat ini dulunya adalah kawah, tapi setelah meletus beberapa tahun yang lalu, muncul kubah lava yang lama kelamaan menjadi sebesar ini.
“Kau harus menunggu sampai langit gelap bila ingin menikmati pijar lava itu, akan lebih indah katanya, atau naiklah ke puncak Gajah Mungkur untuk menikmati sunset di tempat ini,” ucapku pada pria berkacamata dan temannya yang tak berdiri tak jauh dari tempatku.
Seorang temannya membri isyarat agar menemaninya sampai malam, tapi pria berkacamata itu malah merengut kesal, dan beralih menatapkutajam, ada marah dari tatapannya kali ini.
“Tak masalah, aku masih bisa menemani kalian, tempat ini tak memberatkanku, aku sanggup untuk menuruni pemandian air panas di Sungai Bladak, kemudian naik ke Puncak Gajah mungkur itu,” ucapku sambil menunjuk ke suatu arah yang menurutku menjadi tujuan yang akan kami datangi.
“Tidak, tujuan kita kesini hanya survey lokasi bukan untuk yang lainnya, stelah ini kita langsung pulang saja, tak perlu senekat itu kau Nduk,” ada getar cemas dari kalimat yang dia ucapkan barusan.
Sementara temannya melihatku berharap aku membujuknya lagi untuk mau tinggal sampai langit gelap, aku hanya menggeleng pelan, dan mengisyaratkan “bukankah dia teman baikmu?”, dia malah balas menatapku seolah mengatakan,”untuk kali ini kau yang bisa menguasainya,” dan sekali lagi aku menggelang menandakan kalau aku tak berani membantah kalimatnya barusan.
Terlihat dua pria itu berdebat memunggungiku, sambil sesekali menoleh kearahku, pasti pria berkacamata itu terlalu khawatir, kuputuskan untuk menghampirinya.
“Untuk sampai di Puncak Gajah Mungkur hanya perlu mendaki 492 anak tangga, aku akan mengalah untuk tidak menuruni 1000 anak tangga menuju Sungai Bladak, kalau kau memang khawatir denganku,” aku menoleh pada pria berkacamata, dan menatap tegas pada bola matanya. Sementara temannya malah sudah tersenyum-senyum senang, sambil memainkan ujung jaketnya mungkin dia yakin kalau kalimatku barusan bisa membuat pria berkacamata ini mengucapkan kalimat “iya”.
Dia mendekap kedua lenganku, dan menatapku tajam, “kamu yakin bisa?” ucapnya kemudian, aku hanya perlu mengangguk mantap untuk menjawab pertanyaan barusan, dan benar saja, ketika dia menoleh pada temannya dan mengangguk samar, pria yang berdiri disebelahnya itu melonjak girang, bahkan hampis terjatuh dari pinggir anak tangga.
Aku hanya mengulum senyum kecil, “mas kamu mirip sama anak itu,” ucapku padanya sambil menunjuk anak usia Sembilan tahunan berkuncir dua dengan jaket warna pink yang dari tadi lonjak-lonjak antara senang dan tak sabar. Dia langsung terdiam kemudian tertawa lebar, sedangkan pria berkacamata disampingku malah terlihata tak yakin dengan anggukannya barusan, sekali lagi aku meyakinkannya, menaruh tanganku pada pundaknya agar dia menoleh dan melihat anggukan kesungguhanku.
Aku berusaha menepi, menjauhi mereka, menyembunyikan penat dan pening yang menghebat, sambil memandangi punggung pria berkacamata yang sempat mengisi hari-hari terakhirku, mungkin iya, mungkin juga tidak. Kurapatkan jaketku sambil bersedekap dan bersandar pada palang besi pinggir tangga, ikut berjejer dengan fotografer instan di tempat itu.


Wlingi, 24 agt 2013

11.54

No comments:

Post a Comment