Monday, August 26, 2013

SEPENGGAL WAKTU 4 (FF)

04.59pm
Pantai Ngliyep
Bayangan kami yang berdiri bersebelahan mulai membentuk siluet diatas pasir, tak begitu indah tapi cukup membiaskan betapa pertemuan kali ini menjadi lebih berarti dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Seperti sepasang kekasih saja, padahal diantara kami terucap satu nkalimat cinta ataupun saying, tak pernah sekalipun kami membahas tentang perasaan kami masing-masing.
“Bagaimana perjalananmu kali ini? apakah cukup menyenangkan?” tanyaku penasaran begitu melihat matanya yang lurus dan lekat kearah pantai, bukankah dia selalu mengatakan pantai bukanlah tempat yang paling ingin dia kunjungi.
“Sejauh ini, aku merasa nyaman karena menemanimu, bukan hal lain, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja di tempat yang selalu menghembuskan angin kencang seperti ini,” jawabnya tanpa menoleh.
“Sekhawatir itukah kau dengan keadaanku mas? “  aku menunduk memainkan ujung syal yang melingkari leherku.
“Jangankan aku Nduk, semua orang akan melihat iba dengan keadaanmu yang seperti ini,” kali ini dia menoleh kearahku, mendekap tubuhku yang semakin kurus sejak sebulan terakhir ini.
“Apakah aku semakin buruk saja Mas,?” tanyaku sambil bersandar dibahunya.
“Kau tak pernah terlihat buruk dimataku, tapi kali ini kau lebih terlihat memprihatinkan,” jujur sekali ucapkan.
“Tidak bisakah kau sedikit berbohong, seperti biasanya, seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya,” pintaku lirih.
“Percuma, bagaimana aku bisa berbohong, bila melihatmu seperti ini, matamu sudah lebih cekung dari pertemuan kita sebelumnya, katakn padaku seberapa banyak kau kehilangan berat badanmu, berapa helai rambutmu yang sudah luruh ketanah, kau masih memintaku untuk berbohong? Kau bahkan lebih tahu keadaanmu Nduk,?” ucapnya pelan.
“Setidaknya katakan kalau aku ini gadis paling cantik yang pernah kau jumpai Mas,” ucapku mengukir senyum.
“Ya kaulah yang tercantik Nduk, kau yang paling cantik diantara semuanya,” getaran itu terasa memberatkan suaranya.
Debur ombak meningkahi obrolan kami, senja perlahan mulai merayap menjauh, menjadi gelap sebentar lagi gelap, aku menunggu rembulanku. Tak jauh dibelakang kami beberapa anak muda yang mengadakan kemah mulai menyalakan api unggun, sayup-sayup meaminkan gitar, sebuah lagu lama dari Flanella mengalun lembut, berseling dengan derai tawa mereka.
“Aku ingin melihat rembulanku dari sini, tunggulah sejenak Mas,” aku berusaha menarik lengannya yang hendak berdiri. Tatapan matanya menyalak memaksaku untuk mengikutinya, tapi tidak, aku tetap ingin disini, mungkin ini terakhir kalinya aku bisa melihat rembulan di pantai, debur ombak, amis air laut, batu karang yang menjulang, dan pasir putih yang lembut tempat inilah yang selalu kudatangi sejak kecil. Aku malah merebahkan tubuhku begitu saja diatas pasir, menunggu rembulanku. Akhirnya dia mengalah, duduk disebelahku sambil menggenggam pergelangan tanganku.
“Berjanjilah untuk tidak tertidur di tempat ini, berjanjilah untuk tetap bernafas saat kau menikmati rembulanmu Nduk,”
“Mas, apakah kau pikir ini adegan drama? Aku tidak akan semudah itu tumbang, aku bisa bertahan karena aku ingin menikmati satu malam di Rabukumbolo yang sering kau ceritakan itu,”
“Baiklah, berjanjilah kalau kau akan bisa kesana, dan nikmati sendiri edelweiss yang sangat ingin kau lihat itu,”
“Pasti, aku pasti bisa mencapai tempat itu sebelum ajalku menjemput,”
Debur ombak seolah membelaiku, inilah nyanyian alam terindah, nyanyian alam yang mengiringi hari kelahiranku dulu, itulah kenapa aku diberi nama Gadis Pantai. Tak tahu siapa yang melahirkanku saat itu, tapi di tempat inilah orang-orang menemukanku menangis, melawan kerasnya suara ombak yang menelan habis tangisku saat itu. Di tempat ini juga aku dulu bergelung melawan kerasnya kehidupan.
“Nduk kenapa kau mendadak jadi begitu berarti untukku?” sayup suaranya membuatku membuka mata, dan bulan sabit kali ini seperti tersenyum manis kepadaku, itu senyum milik pria berkacamata disampingku.
“Mas, kau sudah lama tidak tersenyum semanis itu kepadaku, kumohon, tersenyumlah seperti bulan sabit itu,” ucapku sambil menunjuk bulan sabit di langit.
“Seandainya senyumku kali ini bisa semanis rembulanmu,” kemudian kulihat dia mulai menarik kedua sudut bibirnya dan itulah senyumnya. Tapi tak lama, kemudian dia menunduk, melepas kacamatanya, kurasakan punggungnya bergetar.
Aku bangkit, dan berusaha memeluknya, “Mas, lihatlah aku. Bukankah aku ini gadis paling cantik yang pernah kau temui,” ucapku sambil meraih pundaknya, berharap dia mendongak dan melihat kearahkau menyuguhkan senyuman manisnya lagi.
Diluar dugaan dia malah meraihku dalam dekapannya, “aku masih hidup Mas, aku belum mati,” ucapku pelan.
“Aku baru merasa kau benar-benar berarti Nduk, berjanjilah untuk tetap hidup untukku,”
“Ya, aku berjanji Mas, aku akan tetap hidup,” bisikku pelan.
Tak jauh dati kami suara derai tawa anak-anak yang berkemah beberapa berubah jadi suitan-suitan olok-olok, kemudian lagu lawas yang berjudul Kemesraan mereka mainkan, terdengar menanangkan dan penuh semangat kebersamaan.
“Mas, apakah sekarang kita pacaran?” celutukku jahil setelah dia melepaskan pelukannya.
“Hahahaha, terserah kamu saja Nduk,” tawanya kali ini terasa begitu ringan ditelinga.

Wlingi, 26 agt 2013

06.06 pm

No comments:

Post a Comment