20.57 WIB
Stasiun kereta api
Waru, Sidoarjo.
Sudah terlalu larut, perjalanan yang melelahkan hampir 5 jam
duduk diam di dalam kereta membuat otot-ototku terasa kaku. Kuambil ponsel dari
dalam kantong celana, cekatan akau mengetikkan kalimat “Mas , aku sudah
sampai,” kemudian kutekan tombol send setelah menambahkan 12 deretan angka yang
kuhafal di luar kepala. Ringan saja aku menuju toilet, mengambil wudhu dan
menunaikan ibadah di mushola stasiun. Tak terlalu banyak orang di mushola,
aku bisa sambil beristirahat sejenak
setelah ibadah, tapi sebuah sms yang berbunyi, “Aku menunggu di depan Tebasco,”
membuatku segera bangkit keluar dari stasiun. Lelaki berkacamata itu sudah
duduk disana dengan dua gelas kopi panas, aromanya sudah menyapaku dari radius
5 meter.
“Keretanya telat mas, tadi rodanya kempes,” sapaku santai
sambil melempar sebuah senyuman, kemudian mengambil tempat didepannya.
“Bisa aja kamu,” jawabnya pendek sambil menyodorkan salah
satu gelas berisi kopi padaku, “semoga kamu suka,” imbuhnya.
“Terima kasih, sudah merepotkanmu lagi Mas,”
“Udah biasa direpotin,” jawabnya cuek.
Kemudian kami saling terdiam, deru kendaraan yang lalu
lalang lebih mendominasi ruang diam kami, aku sibuk dengan pikiranku sendiri
begitupun dia. Namun pandangan kami tak lepas dari arah jalan raya, menikmati
segala kesibukannya, tenggelam dalam deru knalpot, klakson mobil, debu jalanan
dan warna-warni lampu yang saling tumpang tindih memenuhi langit kota Sidoarjo.
“Mas, aku ingin menikmati rembulan dari sini, sepertinya
akan sangat cantik,” bisikku sambil mendongak ke langit.
“Sejak kapan kamu berubah romantis nduk,?” ada sinis dalam
kalimatnya barusan.
“ Ini bukan sekedar romantisme belaka mas, seperti kamu yang
lebih menyukai pegunungan aku, lebih suka menikmati langit malam,” jawabku
tanpa menoleh kepadanya.
“Di sini kau tak akan menemukan rembulanmu, kota ini
tertutup polusi, sampai lehermu sakit rembulanmu tak akan pernah indah bila kau
pandang dari tempat ini,”
“Meski hanya remang-remang, tapi aku cukup senang menikmati
samar cahayanya dari tempat ini,”
“Ikutlah denganku, aku akan mengajakmu menikmati rembulan
yang lebih indah, di suatu tempat, yang tak pernah kau sangka-sangka,” ucapnya
sambil menarik lenganku, memaksaku bangkit dan mengiuti langkahnya.
“Kemana mas?”
“Ikut saja, nanti kau akan tahu, jangan takut, aku bahkan
tak berniat menyentuhmu sama sekali, kau aman bersamaku Nduk, “ ucapannya kali
ini membuatku menerima helm yang di berikan padaku.
Baiklah, aku akan aman, bukankah pria ini sudah berjanji
padaku via chatting semalam. Dia akan mengajakku gowes besok pagi, dari kotanya
ke kotaku, dan keputusan sudah kuambil, aku menyetujui menemuinya lagi malam ini.
Jadi sangat naïf bila aku masih meragukan pria ini, tapi katanya aku juga harus
waspada pada setiap orang, terutama yang paling dekat dan paling baik denganku.
Ya aku harus tetap waspada dengannya. Aku agak ragu naik ke boncengan motornya.
22.10
Rumah pria berkacamata, di atas genteng lantai dua.
“Bagaimana dengan rembulanmu? Sedikit lebih indah kan?” pria
berkacamata itu sedikit berteriak padaku, dia lebih memilihh menungguku di
balkon.
“Sedikit lebih baik,” ucapku sambil bersedekap tangan.
“Kenapa kau menyukai rembulan Nduk,”
“Rembulan itu bisa menjelma menjadi seribu wajah, siapapun
yang aku rindukan bisa kulihat wajahnya ketika aku melihat rembulan,”
“Lalu bila rembulan sedang tidak terlihat, bagaimana kau
akan melihat sesorang itu,?”
“Pejamkan mata sejenak, kemudian ketika kau membukanya, maka
rembulanmu sendiri akan muncul disana, diantara bintang, terserah kau ingin
rembulanmu seperti apa, dia akan muncul begitu saja, mengikuti arah pikiranmu,”
“Untuk urusan rembulan, kau mendadak jadi romantis Nduk,”
“Mas, aku akan tidur disini malam ini, aku suka tempat ini,”
“Eh, jangan gila kamu Nduk, bisa dikira maling kamu kalo
tidur disitu, ayo turun.”
Aku bergeming, dan malah mencoba memejamkan mata, kubebaskan
semua resahku, disini, dibawah rembulan, dibawah bayangan wajah baru yang
terukir di atas sana.
“Beri aku 15 menit saja Mas,” ucapku demi membuat pria
berkacamata itu berhenti meneriakiku.
"Baiklah malam ini puaskan hasratmu pada rembulan itu, tapi besok jangan harap kau bisa menggannguku dengan kalimat bodohmu itu," pria berkacamata itu bersungut-sungut sebal, sambil menghisap rokok kreteknya dan memainkan pnsel pintarnya.
Taukah kau, wajah yang terukir di rembulanku kali ini adalah kamu, ya wajah itu kamu, dan degup ini untukmu, kupandangi punggungnya, tiga bulan dari sekarang aku benar-benar tak bisa menikmati kesenangan ini lagi.Bila kau mengetahuinya, bawakan aku aroma edelweis dari setiap pendakianmu, sampaikan saja pada rembulanku.
wlingi, 20 agt 2013
10.45 pm
No comments:
Post a Comment