Tuesday, August 20, 2013

SEPENGGAL WAKTU 2 (FF)

20.57 WIB
Stasiun  kereta api Waru, Sidoarjo.
Sudah terlalu larut, perjalanan yang melelahkan hampir 5 jam duduk diam di dalam kereta membuat otot-ototku terasa kaku. Kuambil ponsel dari dalam kantong celana, cekatan akau mengetikkan kalimat “Mas , aku sudah sampai,” kemudian kutekan tombol send setelah menambahkan 12 deretan angka yang kuhafal di luar kepala. Ringan saja aku menuju toilet, mengambil wudhu dan menunaikan ibadah di mushola stasiun. Tak terlalu banyak orang di mushola, aku  bisa sambil beristirahat sejenak setelah ibadah, tapi sebuah sms yang berbunyi, “Aku menunggu di depan Tebasco,” membuatku segera bangkit keluar dari stasiun. Lelaki berkacamata itu sudah duduk disana dengan dua gelas kopi panas, aromanya sudah menyapaku dari radius 5 meter.
“Keretanya telat mas, tadi rodanya kempes,” sapaku santai sambil melempar sebuah senyuman, kemudian mengambil tempat didepannya.
“Bisa aja kamu,” jawabnya pendek sambil menyodorkan salah satu gelas berisi kopi padaku, “semoga kamu suka,” imbuhnya.
“Terima kasih, sudah merepotkanmu lagi Mas,”
“Udah biasa direpotin,” jawabnya cuek.
Kemudian kami saling terdiam, deru kendaraan yang lalu lalang lebih mendominasi ruang diam kami, aku sibuk dengan pikiranku sendiri begitupun dia. Namun pandangan kami tak lepas dari arah jalan raya, menikmati segala kesibukannya, tenggelam dalam deru knalpot, klakson mobil, debu jalanan dan warna-warni lampu yang saling tumpang tindih memenuhi langit kota Sidoarjo.
“Mas, aku ingin menikmati rembulan dari sini, sepertinya akan sangat cantik,” bisikku sambil mendongak ke langit.
“Sejak kapan kamu berubah romantis nduk,?” ada sinis dalam kalimatnya barusan.
“ Ini bukan sekedar romantisme belaka mas, seperti kamu yang lebih menyukai pegunungan aku, lebih suka menikmati langit malam,” jawabku tanpa menoleh kepadanya.
“Di sini kau tak akan menemukan rembulanmu, kota ini tertutup polusi, sampai lehermu sakit rembulanmu tak akan pernah indah bila kau pandang dari tempat ini,”
“Meski hanya remang-remang, tapi aku cukup senang menikmati samar cahayanya dari tempat ini,”
“Ikutlah denganku, aku akan mengajakmu menikmati rembulan yang lebih indah, di suatu tempat, yang tak pernah kau sangka-sangka,” ucapnya sambil menarik lenganku, memaksaku bangkit dan mengiuti langkahnya.
“Kemana mas?”
“Ikut saja, nanti kau akan tahu, jangan takut, aku bahkan tak berniat menyentuhmu sama sekali, kau aman bersamaku Nduk, “ ucapannya kali ini membuatku menerima helm yang di berikan padaku.
Baiklah, aku akan aman, bukankah pria ini sudah berjanji padaku via chatting semalam. Dia akan mengajakku gowes besok pagi, dari kotanya ke kotaku, dan keputusan sudah kuambil, aku menyetujui menemuinya lagi malam ini. Jadi sangat naïf bila aku masih meragukan pria ini, tapi katanya aku juga harus waspada pada setiap orang, terutama yang paling dekat dan paling baik denganku. Ya aku harus tetap waspada dengannya. Aku agak ragu naik ke boncengan motornya.

22.10
Rumah pria berkacamata, di atas genteng lantai dua.
“Bagaimana dengan rembulanmu? Sedikit lebih indah kan?” pria berkacamata itu sedikit berteriak padaku, dia lebih memilihh menungguku di balkon.
“Sedikit lebih baik,” ucapku sambil bersedekap tangan.
“Kenapa kau menyukai rembulan Nduk,”
“Rembulan itu bisa menjelma menjadi seribu wajah, siapapun yang aku rindukan bisa kulihat wajahnya ketika aku melihat rembulan,”
“Lalu bila rembulan sedang tidak terlihat, bagaimana kau akan melihat sesorang itu,?”
“Pejamkan mata sejenak, kemudian ketika kau membukanya, maka rembulanmu sendiri akan muncul disana, diantara bintang, terserah kau ingin rembulanmu seperti apa, dia akan muncul begitu saja, mengikuti arah pikiranmu,”
“Untuk urusan rembulan, kau mendadak jadi romantis Nduk,”
“Mas, aku akan tidur disini malam ini, aku suka tempat ini,”
“Eh, jangan gila kamu Nduk, bisa dikira maling kamu kalo tidur disitu, ayo turun.”
Aku bergeming, dan malah mencoba memejamkan mata, kubebaskan semua resahku, disini, dibawah rembulan, dibawah bayangan wajah baru yang terukir di atas sana.

“Beri aku 15 menit saja Mas,” ucapku demi membuat pria berkacamata itu berhenti meneriakiku.
"Baiklah malam ini puaskan hasratmu pada rembulan itu, tapi besok jangan harap kau bisa menggannguku dengan kalimat bodohmu itu," pria berkacamata itu bersungut-sungut sebal, sambil menghisap rokok kreteknya dan memainkan pnsel pintarnya.
Taukah kau, wajah yang terukir di rembulanku kali ini adalah kamu, ya wajah itu kamu, dan degup ini untukmu, kupandangi punggungnya, tiga bulan dari sekarang aku benar-benar tak bisa menikmati kesenangan ini lagi.Bila kau mengetahuinya, bawakan aku aroma edelweis dari setiap pendakianmu, sampaikan saja pada rembulanku.


wlingi, 20 agt 2013
10.45 pm

No comments:

Post a Comment